BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu yang menjadi aspek kajian ilmu balaghah adalah ilmu
badi’. Objek kajian ilmu ini adalah upaya untuk memperindah bahasa baik pada
tataran lafal maupun makna. Pada tataran lafal biasa disebut muhassinat
lafdziyah dan pada tataran makna dinamakan muhassinat ma’nawiyah.
Memperindah kalimat secara maknawiyah (muhassinat ma'nawiyah)
ialah tata cara memperindah yang kembali kepada segi makna sejak semula dan
sesuai dengan keadaannya, walaupun lafadz menjadi indah karena mengikutinya.
Muhassinat ma’nawiyah
meliputi tauriyah, istikhdam, istithrod, thibaq, muqobalah,
mura’ah, an nadhir, irshad, idmaaj, madzhab al
kalami, husn at’ta’liil, tajriid, musyakalah, muzawajah,
at thayyu wa annasyru, jamak, tafriiq. Adapun dalam makalah
ini secara khusus akan membahas tentang istikhdam.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :
1.
Apa
pengertian istikhdam?
2.
Bagaimana
contoh penggunaan Istikhdam dalam kalimat?
1.3
Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat dirumuskan tujuan adalah sebagai berikut :
- Mengetahui pengertian istikhdam.
- Mengetahuicontoh penggunaan Istikhdam dalam kalimat.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Istikhdam
Salah satu bentuk
muhassinat ma’nawiyah (memperindah makna) adalah istikhdam. Secara teologis istikhdam
diartikan sebagai :
ذكر
اللفظ بمعنى وإعادة ضمير أو اسم إشارة بمعنى آخر.
Menyebutkan suatu lafadz yang mempunyai makna
dua, sedangkan yang dikehendaki adalah salah satunya. Setelah itu diulangi oleh
kata ganti dhamir yang kembali kepadanya atau dengan isim isyaroh dengan makna
yang lain, atau diulangi dengan dua isim dhamir, sedangkan yang dikehendaki
oleh dhamir yang kedua bukan yang dikehendaki oleh dhamir yang pertama.
Dalam Kitab
Taisirul Balaghoh disebutkan bahwa pengertian istikhdam adalah
Dari definisi
di atas kita bisa mengambil makna yang dimaksud dengan istikhdam ialah
menyebutkan suatu lafazh itu sendiri, sedangkan makna yang lainya dapat kita
tangkap dari adanya dhamir yang mesti dikembalikan kepada makna lainya.
Demikian pula dinamakan istikhdam jika suatu lafazh mempunyai dua makna, yang
satu dipahamkan dengan sebab adanya suatu dhamir,sedang yang satu lagi dengan
dhamir yang lain.
2.2
Contoh Penggunaan Istikhdam dalam Kalimat
Firman Allah dalam surah al-Balaghoh ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
(البقرة : 185)
Artinya : “Maka barang siapa di antara kamu melihat bulan, maka
hendaklah ia berpuasa di bulan itu.” (QS.al-Balaqah: 185)
Kata “الشهر” mempunyai dua makna. Makna yang pertama adalah ‘penanggalan’
atau ‘bulan sabit’. Dan yang kedua artinya ‘sebulan penuh’ (bulan Ramadhan).
Pada ayat di atas di ungkapkan kata “الشهر” dengan arti ‘penanggalan’ atau ‘bulan
sabit’. Kemudian setelah itu di ulangi dengan dhamir “ىه” pada ungkapan “فليصمه” pada ungkapan tersebut kembali ke “الشهر” akan
tetapi dengan makna ‘bulan Ramadhan’.
Pada contoh ayat di atas terjadi pengungkapan suatu kata yang
mempunyai dua makna, kemudian diulangi oleh dhamir yang kembali pada kata
tersebut. Sedangkan makna kata yang disebut berbeda dengan makna dhamir yang
kembali kepadanya. Model uslub ini dinamakan uslub istikhdam.
Dalam sebuah
syi’ir dikatakan :
فَسَقَى الْغَضَى وَالسَّاكِنِيْهِ
وَإِنْ هُمُوْهُ # شُبُّوْهُ بَيْنَ جَوَانِحِى وَضُلُوْعِى
Artinya :
“lalu hujan itu menyiram ‘al-Ghadha’ dan para penghuninya,
sekalipun mereka menyalakannya di antara dada dan tulang rusukku”
Pada syi’ir di atas terdapat kata al-Ghadha. Kata ini mempunyai dua
makna yaitu berarti ‘nama kampung’ dan ‘nama kayu bakar yang sering
dipergunakan untuk memasak’.
Pada
kalimat :
فسقى الغضى والساكنيه
Artinya :
“menyiram al-Gadha dan penghuninya”
Makna al-Gadha dalam ungkapan
tersebut adalah “kampung” . Kemudian setelah itu terdapat ungkapan “شبوه “ (sekalipun mereka menyalakannya) Kata “ـه”pada ungkapan tersebut merupakan dhomir
yang kembali kepada kata “ الغَضَى ”
Kata “ الغَضَى ” yang bermakna
“nama suatu kampung”
diulangi oleh dhamir yang kembali kepada lafadz tersebut dengan makna “kayu bakar”, dinamakan uslub musyakalah.
Dalam sebuah syi’ir juga dikatakan :
إِذَانَزَلَ
السَّمَاءُ بِأَرْضِ قَوْمٍ # رَعَيْنَاهُ وَإِنْ كَانُوْا غَضَابَا
Artinya :
“Bila langit telah turun,
Dipermukaan bumi suatu kaum.
Maka kita menggembalakan padanya
Walaupun mereka bersikap marah”
Pada Syi’ir diatas, penyair memaksudkan makna ucapannya, “السماء” dengan tujuan dan dengan dhamir yang kembali pada lafadz itu dimaksudkan sebagai “rumput yang tumbuh karena hujan”. Kedua-duanya adalah majaz bagi lafadz “النبات”
وَلِلْغَزَالَةِ شَيْءٌ مَنْ تَلِفْتُهُ
# وَنُوْرُهَا مِنْ ضِيَاءِ
خُدَّيْهِ مُكْتَسَبٌ
Artinya :
“Si Kijang betina punya sesuatu.
Dari tolehan yang dicintai
Cahayanya yang naik itu
Hasil sorotan kedua pipinya.”
Pada syi’ir diatas penyair berkehendak dengan mengemukakan lafadz “الغزالة ” artinya yang telah sama-sama diketahui, yaitu “kijang betina“. Sedangkan dengan dhamir yang kembali kepada lafadz “نورها” , penyair berkehendak pada arti “matahari yang sedang naik”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ü Istikhdam
adalah Menyebutkan
suatu lafadz yang mempunyai makna dua, sedangkan yang dikehendaki adalah salah
satunya. Setelah itu diulangi oleh kata ganti dhamir yang kembali kepadanya
atau dengan isim isyaroh dengan makna yang lain, atau diulangi dengan dua isim
dhamir, sedangkan yang dikehendaki oleh dhamir yang kedua bukan yang
dikehendaki oleh dhamir yang pertama.
ü
adapun contoh dari
istikhdam adalah:
فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ (البقرة : 185)
Artinya : “Maka barang siapa di
antara kamu melihat bulan, maka hendaklah ia berpuasa di bulan itu.”
(QS.al-Balaqah: 185)
فَسَقَى الْغَضَى
وَالسَّاكِنِيْهِ وَإِنْ هُمُوْهُ # شُبُّوْهُ بَيْنَ جَوَانِحِى وَضُلُوْعِى
Artinya :
“lalu hujan itu menyiram ‘al-Ghadha’ dan para penghuninya,
sekalipun mereka menyalakannya di antara dada dan tulang rusukku”
إِذَانَزَلَ
السَّمَاءُ بِأَرْضِ قَوْمٍ # رَعَيْنَاهُ وَإِنْ كَانُوْا غَضَابَا
Artinya :
“Bila langit telah turun,
Dipermukaan bumi suatu kaum.
Maka kita menggembalakan padanya
Walaupun mereka bersikap marah”
وَلِلْغَزَالَةِ شَيْءٌ مَنْ تَلِفْتُهُ
# وَنُوْرُهَا مِنْ ضِيَاءِ
خُدَّيْهِ مُكْتَسَبٌ
Artinya :
“Si Kijang betina punya sesuatu.
Dari tolehan yang dicintai
Cahayanya yang naik itu
Hasil sorotan kedua pipinya.”
DAFTAR PUSTAKA
الشيخ
أحمدقلاق. 1995 م. تيسير البلاغة .المدينة : الطبعة الثانية مزيدة و منقحة
0 komentar:
Posting Komentar